EXPO 2012 Online | Ramadhan - Aksi sweeping di bulan ramadhan nampaknya malah akan merusak citra Islam di Indonesia. Agama yang katanya rahmat bagi semua umat itu, oleh beberapa pihak akan di nilai tidak bijaksana bahkan malah bisa saja mengurangi kadar kualitas berpuasa itu sendiri.
Kondisi ini setidaknya terjadi di beberapa tempat. Baru-baru ini, contohnya, sebagaimana diberitakan situs id.berita.yahoo.com puluhan satuan polisi pamong praja, petugas keamanan berseragam milik Pemkot Serang, Banten, minggu lalu menggerebek rumah makan yang buka siang hari. Mereka diminta menutup rumah makan, buat yang menolak terancam dicabut izin usahanya.
Seorang pelayan yang restorannya dipaksa tutup, mengaku setiap puasa Ramadan biasanya selalu buka. Maklum, di kawasan Kaligadu, pelanggan tak pernah sepi karena banyak juga warga non-muslim. “Untuk menghargai warga muslim yang sedang beribadah, kami menggunakan penutup. Tapi kalau ada warga muslim makan ke sini, kami tidak enak menolaknya,” lanjut pelayan di sana.
Peristiwa serupa juga terjadi di kota lain. Di Sumatera Barat, Cilegon, Banten dan Bandung banyak pengusaha makanan menerima ancaman senada oleh organisasi massa tertentu. Menurut K.H. Sukana, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iksan Al Mubarokkah (Pondok Pesantren Eksekutif) Bandung, Jawa Barat, sikap memaksa seperti itu kini mulai mengarah ke sikap anarkis. “Ini berpotensi merusak citra masayarakat muslim lantaran dianggap tidak mampu menahan diri untuk bertoleransi terhadap mereka yang berbeda agama,” tegasnya.
“Saya pribadi tidak setuju tindakan sweeping, apalagi dilakukan secara anarkis. Dalam arti jangan menzalimi atau merugikan dunia usaha meski dalam pelaksanaannya telah melanggar aturan pemerintah,” jelas Sukana, yang juga Dosen Pendidikan Agama Islam Institut Manajemen Telkom di Bandung.
Aksi anarkisme hanya akan merusak citra umat muslim, dan bisa menimbulkan kesan masyarakat Muslim yang tidak bisa menahan diri dan tak bertoleransi. “Padahal, Islam adalah agama perdamaian.” tutur Sukana.
“Arti Islam itu sendiri adalah untuk keselamatan dirinya, menyelamatkan orang lain, tunduk, patuh dan berserah diri. Jadi arti islam harus dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta berbangsa,” tambahnya lagi.
Selain menghimbau agar umat Islam bertoleransi pada mereka yang tidak berpuasa, Sukana juga mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam penerapan aturan. Jika memang melarang tempat hiburan buka siang hari misalnya, aturan itu harus ditegakkan. Bila peraturannya jelas, maka takkan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Bukan mustahil, lanjutnya lagi, upaya menutup restoran secara paksa atau sweeping terjadi karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang hanya membuat aturan sebatas jam operasional tempat hiburan. Sebab, pelaksanaannya di lapangan tidak dijalankan secara konsisten.
“Akibatnya timbul ketidakpercayaan, kemudian ada kelompok masyarakat yang beraksi sendiri,” ujarnya. Namun Sukana menegaskan, dia tetap tidak mendukung sikap anarkis.
Menurut dia, yang seharusnya terjadi adalah, pemerintah menegakkan aturan dan masyarakat maupun organisasi massa sebatas pendorong agar menerapkan aturan yang sudah dibuat. Sebaiknya rangkul masyarakat yang ingin berkontribusi terhadap penegakan aturan selama Ramadan, sehingga semuanya terkontrol.
Secara terpisah, Pendeta Mori Sihombing, Praeses Distrik VIII HKBP mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen. Karena itu, dia mengharapkan agar ada saling menghargai serta toleransi antarumat beragama.
Termasuk pada Ramadan ini. Dia menyarankan agar masyarakat non muslim pun menghargai hak-hak masyarakat muslim untuk berpuasa. “Hendaknya toleransi ditunjukkan dengan tidak makan minum di tempat umum. Ketika mereka bertandang ke tempat kita, jangan suguhkan makanan dan minuman karena mereka sedang menjalankan ibadah puasa,” ujarnya lagi.
Selain itu, menurut Mori dalam melakukan komunikasi di mana pun janganlah mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyinggung perasaan. “Kita harus ikut menjaga hati saudara-saudara kita untuk bisa menjalankan puasa dengan tenang. Jangan sampai kita melukai hati orang,” katanya.
Sejalan dengan itu, Pendeta Mori juga mengharapkan agar umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa bisa menghargai pemeluk agama lain. “Ini diartikan dengan tidak memaksa orang lain untuk ikut tidak makan dan minum, hanya karena mereka sedang berpuasa,” jelasnya.
Karena itu, terkait dengan upaya penutupan paksa restoran misalnya, dia minta agar pemerintah melindungi hak-hak masyarakat termasuk pengusaha. “Harus dilihat pula nasib para pegawainya. Dari mana mereka mendapat gaji bila usahanya ditutup.” tambahnya.
Jadi pada intinya, sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam bersosialisasi di lingkungan kehidupan masyarakat yang heterogen ini. Di antaranya dengan tidak menghentikan usaha masyarakat seperti penutupan paksa tempat makan. Sebab masih banyak masyarakat lain yang membutuhkan tempat usaha tersebut.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Kapolda Metro Jaya Irjen Untung S. Rajab telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap tempat hiburan yang melanggar jam operasional. Hal itu dilakukan juga untuk menghindari aksi sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak perlu, karena sudah dipantau oleh polisi.
Sementara itu, dalam menanggapi maraknya sweeping yang dilakukan organisasi massa (ormas) selama bulan Ramadhan, Menteri Agama, Suryadharma Ali sebagaimana dilansir kompas.com, menyesalkan masih terjadinya aksi tersebut. "Jadi, kita ini hidup memiliki peran masing-masing.
Dalam fungsinya, ormas tidak boleh berperilaku seperti itu. Kekerasan tidak boleh atas nama apa pun, apalagi atas nama agama. Saya menyesalkan tindakan kekerasan seperti itu masih ada, apalagi dengan membawa-bawa agama," kata Suryadharma Ali, di Kantor DPP PPP, Jakarta, Kamis, (2/8/2012).
Ia pun menyerahkan semua tindak anarkis ini untuk sepenuhnya ditangani oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini, kepolisian. "Sweeping itu sudah masuk masalah keamanan, saya serahkan semuanya kepada pihak kepolisian," ujar Suryadharma.
Selama bulan Ramadhan, sejumlah ormas marak melakukan sweeping tempat hiburan di sejumlah daerah, terutama di Jakarta. Seperti salah satu contohnya adalah perusakan Kafe De Most di Bintaro. Sekitar 100 orang menyerang dan merusak Kafe De Most di Jalan RC Veteran, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (28/7/2012) sekitar pukul 23.00. Massa datang dengan mengendarai sepeda motor. Mereka mengenakan jaket hitam.
Dua saksi, Lukman Hakim dan Sukri, mengatakan kepada polisi bahwa massa datang tiba-tiba dan langsung masuk ke pos keamanan kafe dan ke dalam kafe. Massa berteriak meminta kafe ditutup, sambil memecahkan kaca dinding pos keamanan menggunakan stik golf dan benda tumpul lainnya.
Menyikapi persoalan segala bentuk Sweeping yang terjadi hendaknya, jajaran Kepolisian harus berani bersikap tegas menindak organisasi masyarakat (ormas) dan oknum-oknumnya yang melakukan sweeping di bulan Ramadhan. Namun Polri juga diminta menindak dan menangkap pengusaha hiburan malam yang beroperasi di bulan puasa tersebut.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam rilisnya yang dikirimkan ke kabar17.com. Menurutnya, sikap yang kompromis terhadap ormas yang melakukan sweeping maupun pengusaha nakal tersebut, hanya membuat Polri menjadi bulan-bulanan kedua belah pihak, yang akhirnya Polri juga yang dikecam publik.
“IPW mengingatkan Polri bahwa aksi sweeping dan aksi demo serta aksi protes di malam hari tidak dibenarkan UU. Untuk itu, Polri harus berani menurunkan Brimob dan Pasukan Anti Huru Hara untuk menghalau ormas-ormas yang melakukan aksi sweeping, terutama di malam hari,” ujar Neta S Pane.
Lebih lanjut Neta S Pane mengatakan, jika massa ormas tersebut berbuat anarkis, Polri jangan ragu-ragu untuk melumpuhkannya dengan peluru karet, tindakan menghalau massa dan melumpuhkan dengan peluru karet sering dilakukan Polri terhadap mahasiswa.
“Kenapa dengan mahasiswa Polri berani tegas, sementara dengan ormas, Polri cenderung loyo ?,” tanya Neta.
IPW juga berharap pemerintahan daerah konsisten dan mau membantu Polri dalam mengatasi potensi konflik dan ancaman keamanan di bulan Ramadhan tersebut. Artinya, sebelum ormas melakukan sweeping, Satpol PP harus terlebih dahulu sweeping terhadap lokasi-lokasi hiburan malam.
“Sebab dari tahun ke tahun, IPW memantau lebih dari 70 persen tempat hiburan malam beroperasi di bulan Ramadhan. Dari bagian depan tertutup tapi pengunjung masuk dari pintu belakang,” tambahnya.
Jika hal ini terus dibiarkan, sama artinya Pemda membenturkan polisi dengan ormas-ormas radikal. Untuk itu, Pemda dan Polri harus bekerja sama konsisten menuntup dan menindak tempat hiburan malam yang nekat beroperasi di bulan Ramadhan. Sehingga tidak ada peluang bagi ormas untuk melakukan sweeping dan berbuat anarkis.(RED)
Kondisi ini setidaknya terjadi di beberapa tempat. Baru-baru ini, contohnya, sebagaimana diberitakan situs id.berita.yahoo.com puluhan satuan polisi pamong praja, petugas keamanan berseragam milik Pemkot Serang, Banten, minggu lalu menggerebek rumah makan yang buka siang hari. Mereka diminta menutup rumah makan, buat yang menolak terancam dicabut izin usahanya.
Seorang pelayan yang restorannya dipaksa tutup, mengaku setiap puasa Ramadan biasanya selalu buka. Maklum, di kawasan Kaligadu, pelanggan tak pernah sepi karena banyak juga warga non-muslim. “Untuk menghargai warga muslim yang sedang beribadah, kami menggunakan penutup. Tapi kalau ada warga muslim makan ke sini, kami tidak enak menolaknya,” lanjut pelayan di sana.
Peristiwa serupa juga terjadi di kota lain. Di Sumatera Barat, Cilegon, Banten dan Bandung banyak pengusaha makanan menerima ancaman senada oleh organisasi massa tertentu. Menurut K.H. Sukana, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iksan Al Mubarokkah (Pondok Pesantren Eksekutif) Bandung, Jawa Barat, sikap memaksa seperti itu kini mulai mengarah ke sikap anarkis. “Ini berpotensi merusak citra masayarakat muslim lantaran dianggap tidak mampu menahan diri untuk bertoleransi terhadap mereka yang berbeda agama,” tegasnya.
“Saya pribadi tidak setuju tindakan sweeping, apalagi dilakukan secara anarkis. Dalam arti jangan menzalimi atau merugikan dunia usaha meski dalam pelaksanaannya telah melanggar aturan pemerintah,” jelas Sukana, yang juga Dosen Pendidikan Agama Islam Institut Manajemen Telkom di Bandung.
Aksi anarkisme hanya akan merusak citra umat muslim, dan bisa menimbulkan kesan masyarakat Muslim yang tidak bisa menahan diri dan tak bertoleransi. “Padahal, Islam adalah agama perdamaian.” tutur Sukana.
“Arti Islam itu sendiri adalah untuk keselamatan dirinya, menyelamatkan orang lain, tunduk, patuh dan berserah diri. Jadi arti islam harus dimaknai dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat serta berbangsa,” tambahnya lagi.
Selain menghimbau agar umat Islam bertoleransi pada mereka yang tidak berpuasa, Sukana juga mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam penerapan aturan. Jika memang melarang tempat hiburan buka siang hari misalnya, aturan itu harus ditegakkan. Bila peraturannya jelas, maka takkan menimbulkan keresahan di masyarakat.
Bukan mustahil, lanjutnya lagi, upaya menutup restoran secara paksa atau sweeping terjadi karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang hanya membuat aturan sebatas jam operasional tempat hiburan. Sebab, pelaksanaannya di lapangan tidak dijalankan secara konsisten.
“Akibatnya timbul ketidakpercayaan, kemudian ada kelompok masyarakat yang beraksi sendiri,” ujarnya. Namun Sukana menegaskan, dia tetap tidak mendukung sikap anarkis.
Menurut dia, yang seharusnya terjadi adalah, pemerintah menegakkan aturan dan masyarakat maupun organisasi massa sebatas pendorong agar menerapkan aturan yang sudah dibuat. Sebaiknya rangkul masyarakat yang ingin berkontribusi terhadap penegakan aturan selama Ramadan, sehingga semuanya terkontrol.
Secara terpisah, Pendeta Mori Sihombing, Praeses Distrik VIII HKBP mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen. Karena itu, dia mengharapkan agar ada saling menghargai serta toleransi antarumat beragama.
Termasuk pada Ramadan ini. Dia menyarankan agar masyarakat non muslim pun menghargai hak-hak masyarakat muslim untuk berpuasa. “Hendaknya toleransi ditunjukkan dengan tidak makan minum di tempat umum. Ketika mereka bertandang ke tempat kita, jangan suguhkan makanan dan minuman karena mereka sedang menjalankan ibadah puasa,” ujarnya lagi.
Selain itu, menurut Mori dalam melakukan komunikasi di mana pun janganlah mengeluarkan perkataan-perkataan yang menyinggung perasaan. “Kita harus ikut menjaga hati saudara-saudara kita untuk bisa menjalankan puasa dengan tenang. Jangan sampai kita melukai hati orang,” katanya.
Sejalan dengan itu, Pendeta Mori juga mengharapkan agar umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa bisa menghargai pemeluk agama lain. “Ini diartikan dengan tidak memaksa orang lain untuk ikut tidak makan dan minum, hanya karena mereka sedang berpuasa,” jelasnya.
Karena itu, terkait dengan upaya penutupan paksa restoran misalnya, dia minta agar pemerintah melindungi hak-hak masyarakat termasuk pengusaha. “Harus dilihat pula nasib para pegawainya. Dari mana mereka mendapat gaji bila usahanya ditutup.” tambahnya.
Jadi pada intinya, sikap saling menghargai sangat diperlukan dalam bersosialisasi di lingkungan kehidupan masyarakat yang heterogen ini. Di antaranya dengan tidak menghentikan usaha masyarakat seperti penutupan paksa tempat makan. Sebab masih banyak masyarakat lain yang membutuhkan tempat usaha tersebut.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Kapolda Metro Jaya Irjen Untung S. Rajab telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap tempat hiburan yang melanggar jam operasional. Hal itu dilakukan juga untuk menghindari aksi sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak perlu, karena sudah dipantau oleh polisi.
Sementara itu, dalam menanggapi maraknya sweeping yang dilakukan organisasi massa (ormas) selama bulan Ramadhan, Menteri Agama, Suryadharma Ali sebagaimana dilansir kompas.com, menyesalkan masih terjadinya aksi tersebut. "Jadi, kita ini hidup memiliki peran masing-masing.
Dalam fungsinya, ormas tidak boleh berperilaku seperti itu. Kekerasan tidak boleh atas nama apa pun, apalagi atas nama agama. Saya menyesalkan tindakan kekerasan seperti itu masih ada, apalagi dengan membawa-bawa agama," kata Suryadharma Ali, di Kantor DPP PPP, Jakarta, Kamis, (2/8/2012).
Ia pun menyerahkan semua tindak anarkis ini untuk sepenuhnya ditangani oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini, kepolisian. "Sweeping itu sudah masuk masalah keamanan, saya serahkan semuanya kepada pihak kepolisian," ujar Suryadharma.
Selama bulan Ramadhan, sejumlah ormas marak melakukan sweeping tempat hiburan di sejumlah daerah, terutama di Jakarta. Seperti salah satu contohnya adalah perusakan Kafe De Most di Bintaro. Sekitar 100 orang menyerang dan merusak Kafe De Most di Jalan RC Veteran, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (28/7/2012) sekitar pukul 23.00. Massa datang dengan mengendarai sepeda motor. Mereka mengenakan jaket hitam.
Dua saksi, Lukman Hakim dan Sukri, mengatakan kepada polisi bahwa massa datang tiba-tiba dan langsung masuk ke pos keamanan kafe dan ke dalam kafe. Massa berteriak meminta kafe ditutup, sambil memecahkan kaca dinding pos keamanan menggunakan stik golf dan benda tumpul lainnya.
Menyikapi persoalan segala bentuk Sweeping yang terjadi hendaknya, jajaran Kepolisian harus berani bersikap tegas menindak organisasi masyarakat (ormas) dan oknum-oknumnya yang melakukan sweeping di bulan Ramadhan. Namun Polri juga diminta menindak dan menangkap pengusaha hiburan malam yang beroperasi di bulan puasa tersebut.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam rilisnya yang dikirimkan ke kabar17.com. Menurutnya, sikap yang kompromis terhadap ormas yang melakukan sweeping maupun pengusaha nakal tersebut, hanya membuat Polri menjadi bulan-bulanan kedua belah pihak, yang akhirnya Polri juga yang dikecam publik.
“IPW mengingatkan Polri bahwa aksi sweeping dan aksi demo serta aksi protes di malam hari tidak dibenarkan UU. Untuk itu, Polri harus berani menurunkan Brimob dan Pasukan Anti Huru Hara untuk menghalau ormas-ormas yang melakukan aksi sweeping, terutama di malam hari,” ujar Neta S Pane.
Lebih lanjut Neta S Pane mengatakan, jika massa ormas tersebut berbuat anarkis, Polri jangan ragu-ragu untuk melumpuhkannya dengan peluru karet, tindakan menghalau massa dan melumpuhkan dengan peluru karet sering dilakukan Polri terhadap mahasiswa.
“Kenapa dengan mahasiswa Polri berani tegas, sementara dengan ormas, Polri cenderung loyo ?,” tanya Neta.
IPW juga berharap pemerintahan daerah konsisten dan mau membantu Polri dalam mengatasi potensi konflik dan ancaman keamanan di bulan Ramadhan tersebut. Artinya, sebelum ormas melakukan sweeping, Satpol PP harus terlebih dahulu sweeping terhadap lokasi-lokasi hiburan malam.
“Sebab dari tahun ke tahun, IPW memantau lebih dari 70 persen tempat hiburan malam beroperasi di bulan Ramadhan. Dari bagian depan tertutup tapi pengunjung masuk dari pintu belakang,” tambahnya.
Jika hal ini terus dibiarkan, sama artinya Pemda membenturkan polisi dengan ormas-ormas radikal. Untuk itu, Pemda dan Polri harus bekerja sama konsisten menuntup dan menindak tempat hiburan malam yang nekat beroperasi di bulan Ramadhan. Sehingga tidak ada peluang bagi ormas untuk melakukan sweeping dan berbuat anarkis.(RED)
Komentar
Posting Komentar