Seperti pagi
seperti senja
seperti kita
lalu tiada...
Sepenggal kalimat yang yang ditulis penyair asal Kota Tegal yang terakhir bermukim di Yogyakarta, Boedi Ismanto SA (54), rasa-rasanya bagai sebuah tetenger (tanda). Karena setelah dia tulis di akun facebook, saat menunggu giliran membaca, tidak lama duduk dengan penyair Hamzah Muhammad. Berselang dua puluh menit, dengan tatap mata letih dia terjatuh dari kursi tempat duduknya dan berpulang untuk selamanya. Pukul 23.00, Minggu (10/3) malam, di ruang Adipura Kota Tegal, di saat acara tengah berlangsung.
Sekitar dua puluh menit sebelum kepergiannya, Boedi memang mengatakan kepada M Enthieh Mudakir yang duduk di depannya. Dia di belakang tempat duduknya meminta rokok kretek tuton kepada Enthieh Mudakir. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, dia sempat menyampaikan kepada Enthieh. Terus saja mencipta puisi, membacakannya dan agar menjadikan diri manusia.
’’Aku akan terus mencipta puisi, sampai kapan pun. Bila perlu, di akhirat pun, aku akan tetap berpuisi. Biar Allah langsung mendengarnya. Begitu, Bung,’’ ucap dia singkat, di sela menunggu giliran membacakan karya masing-masing penyair dalam acara peluncuruan buku ’’Antologi Penyair Indonesia - Dari Negeri Poci 4 Dari Negeri Abal-Abal’’.
Buku kumpulan puisi pilihan karya 99 penyair di tanah air, termasuk penyair asal Kota Tegal. Malam itu juga merupakan acara pengumuman juara lomba puisi tahunan tingkat Jateng bertajuk ’’Dari Negeri Poci 4’’, dikuti 73 peserta, lomba yang berlangsung sejak Jum'at (8/3) di Pasifik Mall Tegal, dan finalnya Minggu (10/3) bertempat di Pendopo Adipura di lingkungan Pemkot Tegal.
Suasana hening pun memecah ketika Boedi terjatuh, saat penyair sedang unjuk kebolehan untuk menampilkan karyanya. Itu terjadi setelah pembawa acara Nurhidayat Poso memberikan kesempatan kepada penyair Dimas Indianto S asal Tegal.
’’Mas Boedi Ismanto SA persis duduk di samping saya. Dengan posisi satu baris kursi, kaki kanan dilipat ke atas kursi saat menunggu giliran baca. Tidak lama berselang lima menit suara keduprak dari belakang, dan kepalanya sempat membentur lantai karena posisi kaki kanan di atas.’’ terang penyair Hamzah Muhammad asal Jakarta.
Ruang Gedung Adipura yang sedianya lengang menjadi gaduh.,Sesama penyair pun ikut panik dan cemas. Hamzah Muhammad yang saat itu ngobrol dengannya dikejutkan suara gedobrak yang begitu mengagetkan. M Enthieh Mudakir langsung menoleh ke belakang, dan menjumpai penyair Boedi Ismanto sudah lunglai di lantai setelah di angkat kaki kiri terlihat menyeret. Firasat pun tak terbendung, tidak lama saat penyair Dharmadi menggunakan telepati urut refleksi pun tak mampu menolongnya. Seketika itu suara mengorok dari mulutnya, lalu cepat dilarikan ke Rumah Rakit Islam Harapan Anda (RSUH) Tegal di jalan Ababil.
Istri Boedi, Sri Maryati SE dan ketiga putrinya, Annisa Mulia Ananda, Aisa Putri Larasati, dan Alya Mutiara Khaanza, langsung beranjak mendekati. Melihat sang suami pingsan tak berdaya, Sri Maryati menjerit histeris. Bahkan putri bungsunya pun jatuh pingsan.
Penyair Dharmadi dan beberapa rekan penyair lainnya mencoba menolong untuk pengamanan awal memberikan air putih untuk menenangkan, tapi Tuhan berkata lain. Setelah tubuh Boedi terlihat lunglai tak berdaya tanpa panjang lebar digotong beramai-ramai ke luar Adipura, dalam perjalanan ke RSUI Harapan Anda, di tengah perjalanan Boedi menghembuskan nafas terakhirnya.
seperti senja
seperti kita
lalu tiada...
Sepenggal kalimat yang yang ditulis penyair asal Kota Tegal yang terakhir bermukim di Yogyakarta, Boedi Ismanto SA (54), rasa-rasanya bagai sebuah tetenger (tanda). Karena setelah dia tulis di akun facebook, saat menunggu giliran membaca, tidak lama duduk dengan penyair Hamzah Muhammad. Berselang dua puluh menit, dengan tatap mata letih dia terjatuh dari kursi tempat duduknya dan berpulang untuk selamanya. Pukul 23.00, Minggu (10/3) malam, di ruang Adipura Kota Tegal, di saat acara tengah berlangsung.
Sekitar dua puluh menit sebelum kepergiannya, Boedi memang mengatakan kepada M Enthieh Mudakir yang duduk di depannya. Dia di belakang tempat duduknya meminta rokok kretek tuton kepada Enthieh Mudakir. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, dia sempat menyampaikan kepada Enthieh. Terus saja mencipta puisi, membacakannya dan agar menjadikan diri manusia.
’’Aku akan terus mencipta puisi, sampai kapan pun. Bila perlu, di akhirat pun, aku akan tetap berpuisi. Biar Allah langsung mendengarnya. Begitu, Bung,’’ ucap dia singkat, di sela menunggu giliran membacakan karya masing-masing penyair dalam acara peluncuruan buku ’’Antologi Penyair Indonesia - Dari Negeri Poci 4 Dari Negeri Abal-Abal’’.
Buku kumpulan puisi pilihan karya 99 penyair di tanah air, termasuk penyair asal Kota Tegal. Malam itu juga merupakan acara pengumuman juara lomba puisi tahunan tingkat Jateng bertajuk ’’Dari Negeri Poci 4’’, dikuti 73 peserta, lomba yang berlangsung sejak Jum'at (8/3) di Pasifik Mall Tegal, dan finalnya Minggu (10/3) bertempat di Pendopo Adipura di lingkungan Pemkot Tegal.
Suasana hening pun memecah ketika Boedi terjatuh, saat penyair sedang unjuk kebolehan untuk menampilkan karyanya. Itu terjadi setelah pembawa acara Nurhidayat Poso memberikan kesempatan kepada penyair Dimas Indianto S asal Tegal.
’’Mas Boedi Ismanto SA persis duduk di samping saya. Dengan posisi satu baris kursi, kaki kanan dilipat ke atas kursi saat menunggu giliran baca. Tidak lama berselang lima menit suara keduprak dari belakang, dan kepalanya sempat membentur lantai karena posisi kaki kanan di atas.’’ terang penyair Hamzah Muhammad asal Jakarta.
Ruang Gedung Adipura yang sedianya lengang menjadi gaduh.,Sesama penyair pun ikut panik dan cemas. Hamzah Muhammad yang saat itu ngobrol dengannya dikejutkan suara gedobrak yang begitu mengagetkan. M Enthieh Mudakir langsung menoleh ke belakang, dan menjumpai penyair Boedi Ismanto sudah lunglai di lantai setelah di angkat kaki kiri terlihat menyeret. Firasat pun tak terbendung, tidak lama saat penyair Dharmadi menggunakan telepati urut refleksi pun tak mampu menolongnya. Seketika itu suara mengorok dari mulutnya, lalu cepat dilarikan ke Rumah Rakit Islam Harapan Anda (RSUH) Tegal di jalan Ababil.
Istri Boedi, Sri Maryati SE dan ketiga putrinya, Annisa Mulia Ananda, Aisa Putri Larasati, dan Alya Mutiara Khaanza, langsung beranjak mendekati. Melihat sang suami pingsan tak berdaya, Sri Maryati menjerit histeris. Bahkan putri bungsunya pun jatuh pingsan.
Penyair Dharmadi dan beberapa rekan penyair lainnya mencoba menolong untuk pengamanan awal memberikan air putih untuk menenangkan, tapi Tuhan berkata lain. Setelah tubuh Boedi terlihat lunglai tak berdaya tanpa panjang lebar digotong beramai-ramai ke luar Adipura, dalam perjalanan ke RSUI Harapan Anda, di tengah perjalanan Boedi menghembuskan nafas terakhirnya.
Komentar
Posting Komentar