CERMIN
hujan lebat tadi, Magrib pun basah
listrik padam, cuma dua pelita terangi senda
mereka lucu, pelita hati belahan jiwa
dingin sejak tadi, bahkan ajak kantukku merajut mimpi
padahal Isya baru saja berlalu
tapi usia kian beranjak
hm..... kenangku
kini mereka telah lama mati
terkubur masa yang bosan merampung titah betitah
dikubur masa hidup dan matinya
sungguh sia-sia
bertahun berlalu memang tak terungkit lagi jati diri
masa sungguh telah melupakan
masa telah meleburnya dengan kancah peradaban
bahkan karakter bernilai tidak lagi keharusan
padahal pikiranya melampaui jaman
lantas, apa yang masih bisa diharap
pena tak setajam dulu
rambut pun telah memutih
raga kian letih
sakit segampang datangnya semahal perginya
kantuk kian jadi
menari di pelupuk mata
raga kian letih
jiwa kian pasrah
sungguh tak banyak yang bisa diharap
sebab negeri ini tidak mampu menghargai
JATUH
hari gerah bidang pengap
tumben mentari melalak girang
tersungging tawakan secercah kasmaran
“amboi, rupanya kau haus juga”
tersentak, bibirnya ranum terkatup
lentik jemari menyangga dadu melitik sudut yang memar
“hauskan dia”
amboi sicentil bertanya hati kecut tqak karuan
mata bening pendam sejuta angan
jerit tertahan gerangan kubalut luka
masihkan percaya dari kejatuhan
amboi, berat kubalik tapak tangan
berat senyum menabur benih
untuk menyambut salam yang hangat
kembalilah! kembalilah!
pulang! pulanglah!
jangan tinggalkan daku
mata bening memar di mata
mata bening memar di hati
tak ada sicentil senyumlah lagi
tak ada ranum bibirnya lagi
tak ada kerling binarnya lagi
B U M
pelabuhan tak lagi berfungsi
‘bum’ menyebutnya
tempat bersandar kapal besi
besar sekali, tongkang pun kecil bila dibanding
bila kapal besi tiba dari berlayar
kami pun teriak:
minta’ canting
minta’ canting
mintak canting
tapi aku tak pernah diberi
bahkan aku takut melihatnya
sebab ia besar sekali
teriakannya pun nyaring
siang itu derasnya pasang
kami telanjang mengayuh ke ‘bum’
lewati gerattak batu menakutkan
sungguh usianya lebih tua darimu
lebarnya cukup dua oto lewat
mungkin seratus meter panjangnya
satukan seberang kampungku
ADI MOCHTAR, nama pena dari Asmayadi kelahiran 10 November 1968, di Dusun Tumok, Sambas. Karya-karyanya telah dipublikasikan di beberapa media lokal maupun nasional. Beberapa diantaranya juga terangkum dalam Antologi Puisi bersama JEPIN KAPUAS RINDU PUISI (DKKB, 2000), TALI RASA TIGA URAT (Sanggar KIPRAH FKIP UNTAN), PENYAIR KOTA HANTU BICARA TENTANG TUHAN DAN KEADILAN (Sanggar KIPRAH FKIP UNTAN, 1994), ANUGERAH KHATULISTIWA (Literer Khatulistiwa, 2011). Pernah menjdi Ketua Sanggar KIPRAH FKIP (1988-1989). Saat ini mengabdi sebagai guru dan Kepala TU di SMP Mujahidin Pontianak. Alamat sekarang, Jalan Sungai Raya Dalam, Kompleks Korpri Blok T/389, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat.
hujan lebat tadi, Magrib pun basah
listrik padam, cuma dua pelita terangi senda
mereka lucu, pelita hati belahan jiwa
dingin sejak tadi, bahkan ajak kantukku merajut mimpi
padahal Isya baru saja berlalu
tapi usia kian beranjak
hm..... kenangku
kini mereka telah lama mati
terkubur masa yang bosan merampung titah betitah
dikubur masa hidup dan matinya
sungguh sia-sia
bertahun berlalu memang tak terungkit lagi jati diri
masa sungguh telah melupakan
masa telah meleburnya dengan kancah peradaban
bahkan karakter bernilai tidak lagi keharusan
padahal pikiranya melampaui jaman
lantas, apa yang masih bisa diharap
pena tak setajam dulu
rambut pun telah memutih
raga kian letih
sakit segampang datangnya semahal perginya
kantuk kian jadi
menari di pelupuk mata
raga kian letih
jiwa kian pasrah
sungguh tak banyak yang bisa diharap
sebab negeri ini tidak mampu menghargai
JATUH
hari gerah bidang pengap
tumben mentari melalak girang
tersungging tawakan secercah kasmaran
“amboi, rupanya kau haus juga”
tersentak, bibirnya ranum terkatup
lentik jemari menyangga dadu melitik sudut yang memar
“hauskan dia”
amboi sicentil bertanya hati kecut tqak karuan
mata bening pendam sejuta angan
jerit tertahan gerangan kubalut luka
masihkan percaya dari kejatuhan
amboi, berat kubalik tapak tangan
berat senyum menabur benih
untuk menyambut salam yang hangat
kembalilah! kembalilah!
pulang! pulanglah!
jangan tinggalkan daku
mata bening memar di mata
mata bening memar di hati
tak ada sicentil senyumlah lagi
tak ada ranum bibirnya lagi
tak ada kerling binarnya lagi
B U M
pelabuhan tak lagi berfungsi
‘bum’ menyebutnya
tempat bersandar kapal besi
besar sekali, tongkang pun kecil bila dibanding
bila kapal besi tiba dari berlayar
kami pun teriak:
minta’ canting
minta’ canting
mintak canting
tapi aku tak pernah diberi
bahkan aku takut melihatnya
sebab ia besar sekali
teriakannya pun nyaring
siang itu derasnya pasang
kami telanjang mengayuh ke ‘bum’
lewati gerattak batu menakutkan
sungguh usianya lebih tua darimu
lebarnya cukup dua oto lewat
mungkin seratus meter panjangnya
satukan seberang kampungku
ADI MOCHTAR, nama pena dari Asmayadi kelahiran 10 November 1968, di Dusun Tumok, Sambas. Karya-karyanya telah dipublikasikan di beberapa media lokal maupun nasional. Beberapa diantaranya juga terangkum dalam Antologi Puisi bersama JEPIN KAPUAS RINDU PUISI (DKKB, 2000), TALI RASA TIGA URAT (Sanggar KIPRAH FKIP UNTAN), PENYAIR KOTA HANTU BICARA TENTANG TUHAN DAN KEADILAN (Sanggar KIPRAH FKIP UNTAN, 1994), ANUGERAH KHATULISTIWA (Literer Khatulistiwa, 2011). Pernah menjdi Ketua Sanggar KIPRAH FKIP (1988-1989). Saat ini mengabdi sebagai guru dan Kepala TU di SMP Mujahidin Pontianak. Alamat sekarang, Jalan Sungai Raya Dalam, Kompleks Korpri Blok T/389, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Komentar
Posting Komentar